Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sampai Kapankah Mindset Orang-orang Ini Mampu Menahan Pandemik Global Masuk Desa?

Sampai Kapankah Mindset Orang-orang Ini  Mampu Menahan Pandemik Global Masuk Desa?

Oleh : Ahmad Nurwahid

Akhir-akhir ini dunia sedang mengalami ujian kedewasaan. Di umur peradaban manusia yang sudah mendekati tua ini, peradaban manusia disadarkan akan pentingnya menjaga kesehatan, iman, dan ketaatan. Berawal dari sebuah kota yang dilaporkan muncul pertama kali virus ini, sekali lagi, inilah ujian atau mungkin peringatan untuk sesuatu yang belum sesuai dari yang seharusnya.

Menurut website Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, virus yang baru ditemukan pada manusia sejak wabah ini pertama kali muncul di Wuhan, Cina pada Desember 2019, virus ini diberi nama Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-COV2), dan menyebabkan penyakit Coronavirus Disease-2019 (COVID-19).

Lambat laun virus itu menyebar keseluruh kota tetangga, merebak ke regional-regional lainnya hingga meluas ke satu negara. Kemudian meloncat ke negara-negara di dunia bersamaan dengan laju penduduk yang sangat cepat. Sampai kemudian masuk ke negara tercinta kita ini, Negara Kesatuan Republik Indonesa.

DKI Jakarta, menjadi pusat penyebaran terbesar virus yang menyebabkan penyakit dengan gejala umum berupa demam ≥38 ÂșC, batuk kering, gangguan pernafasan, sakit tenggorokan, mudah kelelahan, dan sesak napas. Sebagai pusat roda pemerintahan dan pusat aktivitas warga negaranya, kota ini menjadi titik awal yang ideal bagi penyebaran virus ke pelosok daerah di Indonesia.

Melalui laju manusia dari dan ke Jakarta ini menjadikan penyebaran virus sampai ke tingkat daerah terendah. Memang saat ini alhamdulillah masih banyak daerah-daerah yang masih steril atau sedikit yang tertular dari virus yang menyebabkan wabah mengerikan ini.

Jika dikatakan mengerikan sih mungkin ada yang tidak setuju dengan pendapat saya, tetapi ada yang lebih mengerikan selama wabah ini yang barangkali beberapa orang akan setuju dengan pendapat saya. Sesuatu yang mengerikan tersebut adalah mindset orang ‘awam’ yang menyepelekan virus corona tanpa mencari tau apa itu sebenarnya. Menurut James Artur Ray, mindset memiliki arti kepercayaan atau sekumpulan kepercayaan yang berpengaruh terhadap sikap seseorang, atau cara berfikir yang menentukan perilaku, pandangan, sikap, dan masa depan seseorang.

Ada dua tipe orang awam menurut saya. Satu, orang awam yang tahu bahwa dirinya awam, sehingga dia mau memperbaiki diri agar tidak awam lagi. Tipe yang kedua yaitu orang awam yang tidak tahu bahwa dirinya awam, sehingga mereka tidak mengerti mana yang harus diperbaiki dari mindset mereka. Nah tipe yang kedua inilah yang berbahaya sekarang ini.

Wabah COVID-19 merebak ke seluruh pelosok daerah di Indonesia. Desa, menjadi tempat yang barangkali masih aman, steril, sampai tulisan ini dibuat. Saya merupakan orang desa. Saya tinggal di desa dan sudah khatam mengetahui seluk beluk orang desa, terutama di desa saya.
Tulisan ini bukan bermaksud menjudge orang desa. Tulisan ini sebagai gambaran saja apa yang saya temui di desa saat wabah ini terjadi.

Sampai tulisan ini dibuat, tingkat penyebaran virus corona semakin tak terkendali. Hampir setiap hari terdapat penambahan ODP (Orang dalam pemantauan) baru, PDP ( Pasien dalam pengawasan) baru, bahkan ada yang meninggal walaupun ada yang sembuh juga.


Petugas medis menjadi perisai utama yang berhubungan langsung dengan pasien. Banyak petugas medis yang sampai mengesampingkan kepentingan pribadi demi menjalankan misi kemanusiaan ini. Bahkan banyak diantara mereka yang bekerja 24 jam sampai kelelahan. Bahkan yang lebih mengharukan lagi, ada diantara mereka yang rela mempertaruhkan nyawanya sendiri demi misi tersebut.

Pemerintah, menjadi pihak pengambil kebijakan yang sampai sekarang tidak lelahnya mengingatkan kepada masyarakat tentang bahayanya virus ini. Setiap hari mereka memikirkan bagaimana langkah terbaik untuk menghentikan rantai penyebaran virus corona. Serta mengatasi segala hal akibat efek samping wabah COVID-19 ini.

Media, dengan kekuasaan terhadap media informasi, mereka melakukan berbagai cara untuk mensosialisasikan bagaimana menghadapi wabah COVID-19, mencerahkan berbagai pertanyaan yang terlintas dari rakyat Indonesia tentang virus jenis baru tersebut. Berbagai media dan partner serta masyarakat bahu-membahu menggalakan donasi untuk meringankan beban yang sedang dipikul semua orang ini.

Sampai paragraf ini, saya ingin mengingatkan, semua pihak melakukan cara terbaik mereka untuk menangani wabah virus corona. Namun perlu sebuah sinergitas dan juga kolaborasi disertai aksi untuk semua itu. Dengan memanfaatkan semangat gotong-royong yang dimiliki rakyat Indonesia, saya yakin tidak akan terlalu lama Indonesia pulih kembali.

Kembali ke bahasan awal lagi, saya punya pengalaman yang barangkali banyak orang pernah mengalaminya juga. Jadi pada suatu malam saya mengikuti kegiatan tasyakuran dan tahlilan di rumah saudara di desa saya. Tuan rumah sudah berinisiatif untuk menyediakan sabun cuci tangan dan air untuk digunakan para warga yang datang. Tetapi suatu hal yang sangat menyayat hati, saya amati dari awal sampai akhir orang bubar, hanya tiga orang yang mencuci tangan, Saya, Ayah saya dan Pak Kiai. Seketika hati ini kecewa dengan mindset ‘awam’ para warga desa.

Banyak orang yang datang tanpa cuci tangan terlebih dahulu, bersalaman dengan orang lain, dan duduk dalam jarak yang sangat dekat. Hal itu tentunya wajar jika terjadi pada waktu biasa saja, tapi ini terjadi pada waktu musim wabah pandemik global. Saat semua orang bahu membahu untuk memutus rantai penyebaran, tapi karena ulah segelintir orang yang punya mindset ‘awam’ ini mengacaukan segalanya. Padahal pemerintah sudah gencar-gencarnya mensosialisasikan self karantina, physical distancing, jaga jarak fisik, rajin cuci tangan dengan sabun, dan lain-lain.

Ternyata, problem yang menghambat pemutusan rantai penyebaran COVID-19 ini terletak pada mindset atau pemikiran orang ’awam’. Perlu adanya sosialisasi lebih gencar untuk memperbaiki pemikiran seperti itu. Dalam sebuah percakapan mereka rata-rata berkata “ Halah, salaman saja tidak boleh, wong coronanya jauh kok di sana”. Jauh, memang, jika dihitung dengan ukuran orang awam, barangkali hal itu jauh.

Namun sadarkah mereka, jika yang mereka lakukan sebenarnya memanggil kemungkinan virus datang ke desa mereka?. Lalu ketika itu terjadi, mungkin saatnya mereka berbondong-bondong mencuci tangan dengan sabun dan menjaga kebersihan.

Padahal di luar sana, di Indonesia dan di berbagai negara, banyak pasien positif corona yang menginginkan kesembuhan dan sehat kembali. Seharusnya kita sebagai orang sehat harus selalu bersyukur dengan tetap menjaga kesehatan dan menjauhi segala hal yang membuat kita sakit.

Sebenarnya yang saya khawatirkan adalah, seberapa jauh kah desa tersebut dapat mempertahankan diri agar virus tidak masuk ke daerah mereka, jika sebagian besar orang desa memiliki pandangan seperti itu. Saya khawatir desa-desa terutama desa saya ‘kebobolan’ atau kecolongan karena ulah pemikiran mereka. Semoga hal seperti itu tidak terjadi.

Okelah, kita sebagai umat manusia boleh setiap saat berdoa, meminta perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun kita sebagai makhluk yang berakal sudah seharusnya berikhtiar atau berusaha juga untuk mencegah hal-hal yang membuat kita sakit. Ada kata-kata bijak, “mencegah lebih baik daripada mengobati”. Saya rasa kita dapat belajar dari kata-kata tersebut.

Saya pikir, masa kalah sih sama induk ayam yang melindungi anaknya dari dinginnya malam. Kalah sama tawon yang marah akibat rumah sang bayinya diganggu. Harusnya sih malu banget. Terutama malu sama yang memberi kehidupan dan akal.

Perlu diadakan sosialisasi tentang bagaimana bahayanya wabah COVID-19 dan pencegahannya mulai dari level daerah terendah, yaitu desa. Hal ini tentunya perlu diadakan karena desa sebagai pondasi dari tegaknya sebuah negara, menurut saya. Serta desa sebagai pondasi kokohnya penanganan virus corona.

Ibarat membangun rumah, agar kokoh berdiri, perlu dibangun pondasinya terlebih dahulu kan, tidak mungkin membangun rumah membuat dindingnya dulu baru dipasang batu pondasi. Biar kuat sebuah bangunan, harus kuat pula pondasinya. Nah desa sebagai pondasi terpenting penanganan virus corona harus dibangun mindset yang benar tentang wabah yang sedang terjadi ini.

Harapannya sih, setiap desa dapat berperan aktif membantu pemerintah pusat untuk menggunting atau memotong rantai penyebaran virus corona. Tidak hanya pemerintah desa, namun juga masyarakatnya harus ikut berpartisipasi memotong rantai penyebaran virus corona ini.

Ingat ya! Jangan hanya berfikir bahwa melindungi diri sendiri agar tidak tertular virus corona hanya demi kesehatan diri sendiri, tetapi juga sebagai bentuk dedikasi kita untuk menjaga kesehatan orang-orang tercinta. Mungkin Anda sehat, sehingga Anda berkata “Ah ngga papa, wong aku kebal virus kok. Aku sehat, punya jimat”. Anda harus mikir! Jika Anda dapat lolos dari ancaman virus corona karena Anda punya kekebalan tubuh yang baik, di sisi lain Anda juga dapat menjadi carrier atau penular terhadap orang-orang terdekat Anda.

Ayo lindungi diri demi melindungi orang-orang tercinta di sekeliling kita. Kita masih punya masa depan, anak dan cucu kita berhak memiliki masa depan cerah. Jangan hanya pasrah pada takdir, tapi juga harus ikhtiar dan tentunya berdoa. Tetaplah di rumah, tetaplah produktif, selalu jaga kesehatan, jangan lupa harus selalu bahagia dan jangan lupa disiplinlah physical distancing.

Semoga NKRI akan segera pulih dan dunia pun semoga dapat segera tersenyum kembali.

Aamiin.

Terimakasih..

 

Daftar Pustaka :

Kemkes. 2020. Pertanyaan dan Jawaban Terkait COVID-19 Kementerian Kesehatan. www.kemkes.go.id  (diakses tanggal 9 April 2020)
Ahmad Nurwahid
Ahmad Nurwahid Seorang pengangguran yang sedang menekuni dunia freelance.

Posting Komentar untuk "Sampai Kapankah Mindset Orang-orang Ini Mampu Menahan Pandemik Global Masuk Desa?"