Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengalaman Seminar UGM - Peran Mahasiswa dalam Pencegahan Ajaran Radikalisme dan Intoleransi di Indonesia

Perkembangan gerakan anti toleransi dan radikalisme makin mengkhawatirkan di negara ini. Hal tersebut menjadi perhatian serius para tokoh agama, akademik dan menjadi bahan pertimbangan untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa, tentang bagaimana peran mahasiswa dalam menghadapi situasi yang terjadi.
http://anwnurwahid.blogspot.com/
Ilustrasi Suasana Seminar di UGM
Sumber : Siedoo.com


Hal tersebut salah satu yang menjadi bahan diskusi dalam acara Studium General seri kuliah MKWU yang diadakan oleh Fakultas Filsafat UGM pada hari Rabu , 4 Desember 2019 lalu, membahas terkait Intoleransi dan Radikalisme, di Gedung Grha Sabha Pramana (GSP) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kegiatan ini diperuntukkan bagi mahasiswa UGM yang mengikuti kelas Mata Kuliah Wajib Umum (MKWU). Mahasiswa dan mahasiswi dari berbagai fakultas di UGM hadir pagi itu memenuhi lantai dua GSP.

Diskusi publik yang dihadiri mahasiswa dan mahasiswi dari berbagai jurusan serta fakultas tersebut berjalan dengan khidmat. Bapak Ali Fauzi dan Ibu Chusnul Khotimah (Yayasan Keluarga Penyintas) berlaku sebagai narasumber.

Untuk pelaksanaan kali ini, Studium General dilaksanakan dua kali, yakni 4 Desember dan pada 5 Desember 2019 . Hal itu karena jumlah peserta yang terlampau banyak sehingga perlu dibagi menjadi dua kloter.

Tema yang diangkat pada stadium general kali ini yaitu Pencegahan Radikalisme dan Penguatan Identitas Bangsa di Perguruan Tinggi. Kesempatan tersebut menghadirkan mantan teroris, Bapak Ali Fauzi Manzi, salah satu orang yang berperan dalam perkembangan gerakan radikalisme di tahun 1990-an. 

Sekembalinya dari Mindanau untuk belajar membuat bom dari Umar Patek, ia didapuk sebagai kepala instruktur perakitan bom Jamaah Islamiyah. Kemudian, bersama sang kakak Amrozi, ia terlibat aksi bom Bali I. Dirinya juga melatih milisi Ambon dan Poso, hingga kemudian tertangkap pada 2004 di Filipina.

Selain Bapak Ali Fauzi, narasumber lain yang turut dihadirkan adalah Ibu Chusnul Chotimah, seorang ibu dari 3 orang anak, salah satu korban dari serangan Bom Bali. Bom yang menggemparkan dunia, saat itu, merenggut nyawa lebih dari 200 orang dan melukai ratusan orang lainnya.

“Saya memohon maaf atas keterlibatan saya dan kakak-kakak saya dalam teror di Indonesia,” Ucap Bapak Ali Fauzi mengawali dialog pada saat itu. Beliau memaparkan, akar terorisme tidaklah tunggal, melainkan saling berkaitan. Karena itu, cara penanganannya juga tidak bisa dilakukan dengan metode tunggal.

Ia mengibaratkan masalah terorisme sebagai komplikasi penyakit yang memerlukan penanganan dari dokter spesialis dan kampanye pencegahan dari orang yang pernah mengalami penyakit tersebut.

Sebagai seorang mantan teroris, ia kini berjuang untuk menghentikan penyebaran pemahaman destruktif yang ingin memporak-porandakan kehidupan bernegara. “Saya bukanlah seorang dokter spesialis, namun saya pernah pengalami penyakit seperti itu bertahun-tahun, sekarang saya bisa bangkit sembuh dan menyembuhkan,” kata Bapak Ali Fauzi.

Di lain sisi, tujuh belas tahun yang lalu, Ibu Chusnul Chotimah, akibat peristiwa tersebut, ia mengalami luka bakar di sekujur tubuhnya dengan rasa sakit yang tak tergambarkan. Tidak hanya itu, ia juga harus kehilangan usaha kecil yang ia bangun bersama suaminya dan kembali ke kampung halamannya di Sidoarjo untuk mengadu nasib dalam kondisi fisik yang belum begitu pulih serta mental yang masih tertekan.

“Bom Bali merubah hidup saya secara drastis. Sebelumnya saya tidak memiliki masalah secara ekonomi, tapi setelah itu saya tidak punya apa-apa lagi,” kata Chusnul.

Jalannya untuk bangkit dari keterpurukan ternyata tidak mudah. Demi menghidupi keluarganya, ia dan suami harus membanting tulang bekerja secara serabutan. Selama bertahun-tahun ia bertahan dengan pekerjaan sebagai penjual sayur keliling, sementara suaminya menjadi kuli pengangkut batu. “Saya harus bangun dari jam 1 pagi, jualan sampai jam 11 siang untuk bisa menghidupi anak-anak. Merekalah yang membuat saya bertahan. Jika tidak ada anak-anak, saya pikir saya lebih baik mati saja,” ucapnya.

Di tengah tekanan psikologis dan kesulitan ekonomi, ia mengaku pernah mencoba bunuh diri hingga empat kali. Ia juga merasakan amarah yang begitu besar terhadap para teroris, hingga ia dan suaminya pernah memiliki rencana untuk membakar rumah salah satu teroris, namun akhirnya niat itu ia urungkan pula. “Sakit hati saya dengan para teroris itu. Waktu tahu bahwa mereka berasal dari Lamongan, saya dan suami mau naik sepeda ke rumah Ali Imron dan membakar rumahnya, supaya mereka juga merasakan rasa sakit yang saya alami,” ujarnya sambil terisak.

Cobaan hidup yang beliau alami mencapai puncaknya ketika suami beliau tergiur dengan tawaran untuk menjadi kurir narkoba demi mendapatkan biaya untuk menyekolahkan anaknya, yang berakhir dengan sang suami ditembak mati oleh petugas BNN. Kembali beliau menyalahkan para teroris yang membuat mereka menghadapi kesulitan sejak awal. Setelah melalui perjalanan yang tidak mudah, ketika ia mulai mendapatkan bantuan dari BNPT pada tahun 2017 yang salah satunya berupa pendampingan psikologis, ia mengaku mulai bisa memaafkan para pelaku pengeboman. “Akhirnya bisa memaafkan, walau dengan waktu yang begitu panjang. Saya berpikir, kalau saya tidak memaafkan pun tidak akan ada yang berubah, wajah saya tidak mungkin kembali lagi. Maka saya mulai memaafkan, agar saya juga bisa melanjutkan hidup saya,” ungkap Ibu Chusnul. 

Lalu, seberapakah bahaya persoalan radikalisme bagi kehidupan bersama ? Persoalan radikalisme bagi kehidupan berbangsa bernegara dan beragama sangat bahaya jika terus menerus didiamkan saja. Tindakan kekerasan apa pun bentuknya tidak dibenarkan di setiap negara ataupun agama. Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru. Kekerasan melahirkan dendam, dan dendam memunculkan kekerasan lainnya: begitulah siklus kekerasan. Coba kita lihat jika ada tindakan kekerasan terhadap seseorang maupun kelompok maka akan menimbulkan dendam baru. Dendam baru akan memunculkan tindakan kekerasan baru dan akan menimbulkan lagi dendam baru, begitu seterusnya dan tidak ada henti-hentinya. Dampaknya tidak hanya bagi korban saja, tetapi juga dapat memecah belah persatuan bangsa Indonesia.

Apakah mahasiswa dapat menjadi intoleran dan radikal? Bisa jadi. Perlu diwaspadai sekarang, kelompok teroris sudah bergerak dan menyasar semua elemen. Mereka akan melakukan perekrutan dari berbagai elemen bahkan sampai pada tingkatan pendidikan dan keluarga. Seperti tindakan teror dan bom bunuh diri di Surabaya, yang melakukan adalah satu keluarga. Mungkin kita tidak bisa berpikir “kok bisa ya, anak-anak dilibatkan?” tapi itulah aksi nyata dan itu bisa jadi menimpa saudara atau teman kita. Maka penting untuk mendeteksi secara dini apa yang berubah dari diri sendiri, keluarga dan teman terdekat. Karena intoleransi, radikalisme dan terorisme itu seperti virus yang bisa menular kepada siapapun. Bisa orang dewasa, anak-anak, perempuan, orang tua, mereka yang berada di Indonesia dan mereka yang berada di luar Indonesia. 

Lalu, faktor apa saja yang menyebabkan seseorang tertarik pada pandangan dan jaringan radikalisme? Maraknya pemikiran radikalisme hingga tindak perilaku terorisme dewasa ini, seakan menjadi salah satu permasalahan krusial yang patut diperhatikan. Tak dapat diduga, aksi demi aksi melawan hukum dalam melancarkan serangan yang konon katanya jihad namun justru membahayakan banyak pihak tak bersalah, kadang menjadi tanda tanya besar bagi kita semua, mengapa hal tersebut dilakukan, tanpa memikirkan dampak dan akibat apa yang kedepannya akan terjadi. Latar belakang pendidikan yang rendah dianggap merupakan salah satu penyebab/faktor mengapa generasi muda ataupun anak sekolahan sangat tertarik untuk terlibat dalam kegiatan radikal. Acapkali generasi muda tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk mencari jalan alternatif penyelesaian suatu masalah selain bertindak radikal ataupun melakukan aksi-aksi ekstrim. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa seseorang dengan latar pendidikan tinggi hingga bergelar doktor sekalipun dapat menjadi salah seorang aktor intelektual dibalik penyebaran ajaran radikal dan terorisme.

Radikalisme saat ini menjadi polemik yang dinilai sebagai ancaman nyata bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peran mahasiswa dinilai sangat penting dalam upaya mencegah penyebaran paham radikalisme. Peran mahasiswa sangat penting sebab masyarakat menilai mahasiswa sebagai kaum intelektual dan tauladan bagi masyarakat dan bahkan biasanya masyarakat lebih percaya terhadap mahasiswa daripada aparat. Maka, sikap dan etika mahasiswa pun sangat penting.

Sikap dan karakter apa yang harus ditumbuhkan dalam diri mahasiswa agar tidak terpengaruh ajaran intoleransi dan radikalisme? Menurut saya, mahasiswa sebagai agen perubahan sekaligus generasi penerus bangsa, penting bagi mereka untuk mendapatkan pemahaman dan wawasan yang lebih tentang ilmu agama. Supaya mahasiswa juga bisa membantu mewujudkan kerukunan umat beragama. Tujuannya agar mahasiswa tidak mudah terpengaruh oleh pemahaman yang menyimpang. Salah satu caranya adalah melalui sosialisasi dan seminar anti radikalisme dan terorisme , setidaknya mahasiswa bisa lebih tahu apa itu radikalisme dan bahayanya. Sebab, mereka yang memegang paham radikalisme sering kali tidak menyadari dampak dari perbuatannya.

Selain itu, dengan menambah pengetahuan dan wawasan tentang radikalisme dan terorisme diharapkan mahasiswa mampu berkontribusi dalam menangkal intoleransi dan radikalisme jika sewaktu-waktu itu terjadi.


Artikel ini bersumber dari pengalaman pribadi mengikuti seminar tersebut dan didukung oleh artikel dari Siedoo.com
Ahmad Nurwahid
Ahmad Nurwahid Seorang pengangguran yang sedang menekuni dunia freelance.

Posting Komentar untuk "Pengalaman Seminar UGM - Peran Mahasiswa dalam Pencegahan Ajaran Radikalisme dan Intoleransi di Indonesia"